Saat ini di Indonesia
belum memliki UU khusus/ Cyber Law yang mengatur mengenai Cybercrime, walaupun
UU tersebut sudah ada sejak tahun 2000 namun belum disahkan oleh pemerintah
dalam upaya menangani kasus-kasus yang terjadi. Menangani kasus carding para
penyidik (khususnya Polri) melakukan analogi atau perumpamaan dan persamaan
terhadap pasal-pasal yang ada dalam KUHP pada Cybercrime. Sebelum lahirnya UU
no.1 tentang Informasi dan Transaksi Elektronika (ITE), maka mau tidak mau
Polri harus menggunakan pasal-pasal di dalam KUHP seperi pasal pencurian,
pemalsuan dan penggelapan untuk menjerat para carder dan ini jelas menimbulkan
berbagai kesulitan dalam pembuktiannya karena mengingat karakteristik dari
cybercrime sebagaimana telah disebutkan diatas yang terjadi secara nonfisik dan
lintas negara.Di Indonesia carding dikategorikan sebagai kejahatan pencurian
dimana pengertian pencurian menurut hukum beserta unsur-unsurnya dirumuskan
dalam pasal 362 KUHP yaitu : “Barang siapa mengambil suatu denda yang
seluruhnya atau sebagian milik orang lain dengan maksud untuk dimiliki secara
melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama 5
tahun atau denda paling banyak Rp. 900”. Untuk menangani kasus carding
diterapkan pasal 362 KUHP yang dikenakan untuk kasus carding dimana pelaku
mencuri nomor kartu kredit milik orang lain
walaupun tidak secara fisik karena hanya nomor kartunya saja yang
diambil dengan menggunakan software card generator di internet untuk melakukan
transaksi di e-commerce. Setelah dilakukan transaksi dan barang dikirimkan,
kemudian penjual yang ingin mencairkan uangnya di bank ternyata ditolak karena
pemilik kartu bukanlah orang yang melakukan transaksi.
Kemudian dengan lahirnya
UU ITE, khusus kasus carding dapat dijerat dengan menggunakan pasal 31 ayat 1
dan 2 yang membahas tentang hacking. Karena dalam salah satu langkah untuk
mendapatkan nomor kartu kredit carder sering melakukan hacking ke situs-situs
resmi lembaga penyedia kartu kredit untuk menembus sistem pengamannya dan
mencuri nomor-nomor kartu tersebut.Bunyi pasal 31 yang menerangkan tentang
perbuatan yang dianggap melawan hukum menurut UU ITE berupa ilegal access :
Pasal 31 ayat 1 : “Setiap
orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan
atas informasi elektronika atau dokumen elektronik secara tertentu milik orang
lain”.
Pasal 31 ayat 2 :
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau transmisi
elektronik atau dokumen elektronik yang tida tersidat publik dari, ke dan
didalam suatu komputer dan atau sistem menyebabkan perubahan, penghilangan atau
penghentian informasi elektronik atau dokumen elektronik yang ditransmisikan”.
Jadi sejauh ini kasus
carding di Indonesia baru bisa diatasi dengan regulasi lama yaitu pasal 362
dalam KUHP dan pasal 31 ayat 1 dan 2 dalam UU ITE. Penanggulangan kasus carding
memerlukan regulasi yang khusus mengatur tentang kejahatan carding agar
kasus-kasus seperti ini bisa berkurang dan bahkan tidak ada lagi. Tetapi selain
regulasi khusus juga harus didukung dengan pengamanan sistem baik software
maupun hardware, guidelines untuk pembuat kebijakan yang berhubungan dengan
computer-related crime dan dukungan dari lembaga khusus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar